Res Judicata Pro Veritate Habetur’ “Skakmat” Bagi Pencari Keadilan ?

Headline Hukrim Terkini

Catatan Efraim Lengkong, (pengamat Sosial Budaya)

Een objectieve beoordeling van een objectieve positie’ (sebuah penilaian objektif dari sebuah posisi objektif) disematkan ‘Trauman ahli’ hukum negeri ‘Kincir Angin’ sebagai pridikat hakim.

Di era saat ini filosofi “Een objectieve beoordeling van een objectieve positie
menjadi ‘trend’ pembicaraan di kalangan praktisi hukum, dosen dan masyarakat umum, lebih khusus para pencari keadilan di Sulawesi Utara.

Hal yang menarik adalah penerapan hukum di mana hakim memiliki kemerdekaan (independensi) dan imparsial termasuk obyektivitas hakim dalam memutus perkara.

Suatu perkara dapat terselesaikan secara efektif dan efisien apabila ada pengaturan atau manajemen yang tepat dalam prosesnya.

Semua proses berperkara di pengadilan akan berjalan dengan baik jika semua unsur di dalamnya terlaksana sesuai dengan tugas dan fungsinya. Salah satu unsur penting yang berpengaruh dalam proses berperkara di pengadilan adalah pelaksanaan persidangan.

Visi Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk menjadi badan peradilan yang agung dan seluruh badan peradilan di bawahnya telah melaksanakan reformasi birokrasi serta telah mengambil langkah-langkah yang bersifat mendasar, komprehensif, dan sistematik, sehingga tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan efektif dan efisien.

Salah satu bentuk reformasi birokrasi yang terus digaungkan oleh Mahkamah Agung adalah dalam hal peningkatan kualitas putusan hakim serta profesionalisme seluruh lembaga peradilan yang ada di bawahnya.

1. Salah satu wujud peningkatan kualitas putusan hakim serta profesionalisme lembaga peradilan yakni ketika hakim mampu menjatuhkan putusan dengan memperhatikan tiga hal yang sangat esensial, yaitu keadilan (gerechtigheit), kepastian (rechsecherheit) dan kemanfaatan (zwachmatigheit).

2. Mencari dan menemukan keserasian dalam hukum tidaklah sulit dan tidak juga mudah. Kesulitan mencapai hukum yang ideal adalah dimana pihak-pihak yang bersengketa atau berurusan dengan hukum merasa puas atau menerima hasil putusan dengan lapang dada.

Selain itu, hukum diharapkan dapat berkembang dengan pesat mengikuti arus perkembangan zaman untuk mengatur segala tindakan atau perbuatan yang berpotensi terjadinya perselisihan, baik perselisihan kecil maupun besar.
Membiarkan teori atau praktik berjalan sendiri-sendri tanpa saling melengkapi akan mempengaruhi kinerja dari hukum itu sendiri.

3. Tidak kalah penting ketika hukum tertinggal oleh zaman, dimana arus perubahan terus terjadi mengikuti laju pertumbuhan dari masyarakat, akan berdampak terhadap eksistensi hukum dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum.

Prinsip hukum diciptakan untuk memberikan kepercayaan kepada masyarakat (manusia) terhadap kepentingan yang berbeda. Melalui hukum diharapkan dapat terjalin pencapaian cita dari manusia (subyek hukum).

Gustav Radbruch seorang ahli hukum dan filsuf hukum Jerman mengatakan,
bahwa hukum dalam pencapaiannya tidak boleh lepas dari keadilan, kepastian dan kemanfaatan.
Eksistensi hukum yang dimaksud ialah baik hukum yang bersifat pasif (peraturan perundang-undangan) maupun bersifat aktif (hakim di pengadilan).

Mengingat begitu pentingnya asas keadilan, kepastian hukum serta kemanfaatan dalam putusan yang dijatuhkan hakim sebagai produk pengadilan, maka penulis merasa perlu menguraikan mengenai bagaimana suatu putusan memiliki ketiga aspek tersebut sehingga kepentingan masyarakat pencari keadilan tidak merasa terabaikan.

Pertanyaannya, apakah keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dapat diwujudkan dalam putusan hakim ?
Bagaimana kriteria putusan hakim memberikan rasa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi masyarakat?

Pada dasarnya setiap putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan harus mewakili suara hati masyarakat pencari keadilan.
Putusan tersebut jangan sampai memperkeruh masalah atau bahkan menimbulkan kontroversi bagi masyarakat ataupun praktisi hukum bahkan para dosen fakultas hukum.

Penyebab terjadinya kontroversi pada putusan hakim tersebut kemungkinkan hakim kurang menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan yang saat ini berkembang pesat seiring perubahan zaman serta kurang teliti nya hakim dalam memproses suatu perkara.

Putusan hakim merupakan gambaran kesadaran yang ideal antara hukum dan perubahan sosial.
Putusan hakim harus memberikan manfaat bagi setiap orang yang berperkara.
Putusan hakim semestinya tidak menimbulkan konflik baru bagi para pihak berperkara dan masyarakat.
Putusan hakim merupakan produk dari proses persidangan di pengadilan.

Sementara pengadilan merupakan tempat terakhir bagi pelarian para pencari keadilan, sehingga putusan hakim sudah sepatutnya dapat memenuhi tuntutan para pencari keadilan. Terhadap hal tersebut hakim dalam memutuskan perkaranya harus mencerminkan unsur keadilan, objektif dalam mempertimbangkan kepastian hukum dan kemanfaatan.

Tugas hakim adalah menegakkan keasilan sesuai dengan irah-irah yang dibuat pada kepala putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Keadilan yang dimaksudkan dalam putusan hakim adalah yang tidak memihak terhadap salah satu pihak perkara, mengakui adanya persamaan hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Dalam rangka menegakkan keadilan, putusan hakim di pengadilan harus sesuai dengan tujuan sejatinya yaitu memberikan kesempatan yang sama bagi pihak yang berperkara di pengadilan.

Hakim dalam menjatuhkan putusan tidak hanya mengacu pada undang-undang saja, sebab kemungkinan undang-undang tidak mengatur secara jelas, sehingga hakim dituntut untuk dapat menggali nilai-nilai hukum seperti hukum adat dan hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat.
Dalam hal tersebut hakim wajib menggali dan merumuskannya dalam suatu putusan.

Kepastian hukum yang dituangkan dalam putusan hakim merupakan produk penegak hukum yang didasarkan pada fakta-fakta persidangan yang relevan secara yuridis dari hasil proses penyelesaian perkara dalam persidangan.

Penerapan hukum harus sesuai dengan kasus yang terjadi, sehingga hakim dituntut untuk selalu dapat menafsirkan makna undang-undang dan peraturan lain yang dijadikan dasar putusan. Penerapan hukum harus sesuai dengan kasus yang terjadi, sehingga hakim dapat mengkonstruksi kasus yang diadili secara utuh, bijaksana dan obyektif. Putusan hakim yang mengandung unsur kepastian hukum akan memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum.

Putusan hakim yang ideal dalam peradilan perdata haruslah memenuhi ketiga (3) asas yang sudah ada. Disayangkan realita yang ada sering sekali antara keadilan berbenturan dengan kepastian hukum, ataupun kepastian hukum berbenturan dengan kepentingan, kemanfaatan.

Fenomena penerapan hukum, terkait Perkara Nomor 88/Pdt.G/2022/PN Bit.

H – 4 idul fitri 2023 saya (penulis) menghadiri persidangan Perdata No. 88/Pdt.G/2022/PN. Bit yang diketuai oleh majelis hakim Jubaida Diu,SH, di PN Bitung.

Saat hakim membacakan putusan saya merasa heran. Roh yang ada dalam hati bercampur naluri perasaan, mengatakan ada sesuatu yang yang ‘aneh’ dan kurang ‘elok’ dalam putusan yang dibacakan.

Hal itu terjadi ketika mendengar pembacaan putusan, salah satu alasan ditolaknya gugatan penggugat karena penggugat tidak dapat memperlihatkan bukti asli dari berita acara pemeriksaaan laboratorium kriminalistik No KAB; 4655/DTF/XI/2019 Polda Sulawesi Selatan (hanya foto copy).

Padahal penggugat telah menghadirkan dua (2)
saksi fakta yaitu Dr Michel Barama SH, MH. Yang menurut kesaksiannya bahwa dirinya pernah melihat hasil laboratorium kriminalistik yang asli sewaktu dirinya diminta oleh pihak Polda Sulut sebagai saksi ahli dalam persidangan.

AKBP (purn) Vicky Montung SH memberikan kesaksiannya bahwa dirinya mengetahui, melihat adanya hasil laboratorium forensik tersebut, karena dia adalah Kabag Wassidik Polda Sulut di mana segala surat yang akan dinaikkan atau diproses hukum yang berkaitan dengan tugas reskrim harus melalui ‘paraf’ atau diperiksa oleh dia selalu Kabag Wassidik.

Polda Sulut selaku turut tergugat, dalam persidangan hanya memperlihatkan foto copy hasil laboratorium forensik. Bukti asli, menurut pihak Polda Sulut tidak dapat dihadirkan dengan alasan dokumen negara.

Hal ini menjadi bukti kesaksian bahwa benar ada hasil laboratorium forensik tersebut. Menurut tafsir penulis’ bahwa bukti surat hasil laboratorium kriminalistik sudah menjadi bukti yang “sempurna”.

Mahkamah Agung dalam Putusannya No.: 112 K/Pdt/Pdt/1996, tanggal 17 September 1998, yang memiliki kaidah hukum sebagai berikut: “Fotocopy surat tanpa disertai surat/dokumen aslinya dan tanpa dikuatkan oleh Keterangan saksi dan alat bukti lainnya, tidak dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dalam Persidangan Pengadilan (Perdata).

“Dalam perkara perdata, sebenarnya Hakim bisa memerintahkan para pihak untuk membuka dokumen-dokumen terkait perkara”. Logikanya, penafsiran a contrario, selama tidak dilarang berarti dapat dilakukan.

Indonesia pengguna sistem common law, seperti di Singapura dan Malaysia
Dalam perkara perdata praktik ini lazim terjadi.
Para pihak dapat saling meminta secara timbal balik pembukaan surat-surat keterangan lawannya maupun mendatangkan saksi sebelum dan saat persidangan. Bila salah satu pihak menolak, hakim dapat memaksa para pihak untuk membuka dokumen yang terkait perkara dengan dikecualikannya jenis dokumen tertentu.

Dalam sidang perkara Perdata Nomor 88/Pdt.G/2022/PN. penggugat telah menyerahkan 14 bukti surat diantara bukti surat dari Laboratorium Forensik Polri di Makassar yang hasilnya terdapat tanda tangan yang Non Identik atau (palsu) dan ada juga bukti putusan praperadilan hal mana hakim menolak gugatan praperadilan dari tergugat.

Bukti bahwa tersangka (TSK) in casu tergugat 1,2 dan 3 sudah pernah ditahan di rutan Polda Sulawesi Utara selama enam puluh delapan (68) hari.

Penggugat Qualitate Quo telah menyerahkan:

1. Bukti P-1 : Foto copy Berita Acara Pemeriksaan Laboratorium Kriminalistik No. Lab.:4655/DTF/XI/2019 Tanggal 30 Desember 2019 dari Kepolisian RI Sulawesi Selatan Bidang Laboratorium Forensik Makasar Terhadap dua Dokumen Bukti yaitu :
– Surat Pernyataan Pemberian Hibah Tertanggal 1 Pebruari 1994
– Akta Hibah No. 141/HIB/BTGH/XII/1995 Tertanggal 18 Desember 1995.
Hasil pemeriksaan Laboratorium Kriminalistik pada kesimpulanya bahwa : 2 buah tanda tangan atas nama WELLEM WUISAN bukti (QT1 & QT2) yang tersebut pada BAB.I.A adalah NON IDENTIK atau MERUPAKAN TANDA TANGAN YANG BERBEDA dengan tanda tangan atas nama WELLEM WUISAN Alias WELLEM WUISAN Alias CH. WELEM WUISAN pada dokumen pembanding (KT.)
Bukti asli ada pada turut tergugat, karena itu dalam gugatan dimintakan untuk diperlihatkan di persidangan atas perintah Majelis Hakim.

2. Bukti P-2 : Putusan Praperadilan Nomor:03/Pid.Pra/2020/PN.Mnd. Bukti ini, membuktikan bahwa asli Surat Berita Acara Pemeriksaan Lab Pemeriksaan Laboratorium Kriminalistik No. Lab.:4655/DTF/XI/2019 Tanggal 30 Desember 2019 dari Kepolisian RI Sulawesi Selatan Bidang Laboratorium Forensik Makasar, telah diajukan sebagai bukti dalam perkara praperadilan No. 3/Pid.Pra /2020/PN. Mdo sehingga pada halaman 18 putusan No. 3 /Pid.Pra/2020/PN.Mdo telah di Pertimbangkan sebagai berikut. Terhadap perkara yang menjadi dasar penyidikan Termohon tersebut, ternyata terdapat : keterangan saksi pelapor/korban beberapa surat yang terdapat tandatangan Pelapor/saksi korban dan Surat hasil pemeriksaan labolatorium forensik yang mengidentifikasi “tidak identik” tandatangan saksi Pelapor. Kejahatan yang disidik terkait suatu produk dimana hasil pemeriksaan forensik cukup menentukan kesesuaian dari produk tersebut. Karena pemeriksaannya dilakukan oleh lembaga berkompeten, maka hasilnya dapat dipertangguungjawabkan.
Patut diperhatikan, bahwa dalam perkara terkait pemalsuan surat (merujuk pada perkara ini adalah tanda tangan saksi pelapor yang ditiru), hasil pemeriksaan laboratorium forensik cukup dominan dijadikan kunci untuk menjawab kebenaran dari suatu produk dan tidak bergantung pada keterangan para saksi yang dapat saling berseberangan.
Foto copy bermeterai cukup dan telah disesuaikan dengan salinan aslinya.

3. Bukti P-3 : Foto copy
Surat Pernyataan Pemberian Hibah Dibawah Tangan tanggal 1 Pebruari 1994 dari Kepala Tumpuk keluarga (family) 6 Dotu Tanjung Merah kepada Fien Sompotan.
Bukti ini setelah diuji pada Laboratorium Kriminalistik No. Lab.:4655/DTF/XI/2019 di Kepolisian RI Sulawesi Selatan Bidang Laboratorium Forensik Makasar Tanggal 30 Desember 2019 hasilnya NON IDENTIK.
Bukti asli ada pada tergugat I, II, III, dan atau turut tergugat.

4. Bukti P-4 : Foto copy
Surat Kuasa tanggal 1 Februari 1994. Bukti ini menunjukan bahwa Fien Sompotan hanya sebagai penerima Kuasa, bukan penerima Hibah.
Bukti asli ada pada tergugat I, II, III, dan atau turut tergugat.

5. Bukti P – 5 : Foto copy
Berita acara Tanggal 1 Februari 1994 dari hasil keputusan Rapat/Musyawarah Para ketua – ketua Tumpuk ahli waris 6 dotu, mengangkat/menunjuk Fien Sompotan sebagai Ketua 6 dotu.
Bukti asli ada pada tergugat I, II, III, dan atau turut tergugat.

6. Bukti P – 6 : Foto copy
Akta Hibah No. 141/HIB/BTGH/XII/1995 Tertanggal 18 Desember 1995 yang dibuat oleh Camat Kepala Wilayah Bitung Tengah, Boyke H. Rompas, SH (Tergugat VIII).
Bukti Akta Hibah No141/HIB/BTGH/XII/1995 ini setelah diuji pada Laboratorium Kriminalistik No. Lab.:4655/DTF/XI/2019 di Kepolisian RI Sulawesi Selatan Bidang Laboratorium Forensik Makasar Tanggal 30 Desember 2019 hasilnya NON IDENTIK atau tanda tangan yang berbeda.
Bukti asli ada pada tergugat I, II, III, dan atau turut tergugat.

7. Bukti P – 7 : Foto copy
Akta Hibah No. I Tanggal 1 Maret 1994 yang dibuat oleh Notaris Jeane Jolanda Unsulangi, SH (Tergugat VII) mengenai hibah obyek sengketa dari Kepala Tumpuk Family 6 Dotu Tanjung Merah kepada Fien Sompotan dan atau orang tua/ibu Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III.
Bukti ini menjelaskan bahwaTergugat VII secara hukum dan kewenangan pada tahun 1994 belum dapat menerbitkan Akta Tanah karena bukan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), NOTARIS JEANE JOLANDA UNSULANGI.
SK MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NO C – 101.HT.03.01 thn. 1992.
Kewenangan tersebut dapat di lakukan setelah tahun 1996,
JEANE JOLANDA UNSULANGI, SH (Tergugat VII) baru resmi menjadi PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) tanggal
4 Maret 1996 sesuai dengan KEPUTUSAN MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL 1996 NOMOR 3 – XI – 1996 TANGGAL 4 MARET 1996. Foto copy bermeterai cukup, bukti asli ada pada tergugat I, II, III dan atau tergugat VII.

8. Bukti P – 8
Surat Pernyataan dan Pemberian Keterangan yang dibuat di hadapan Notaris Youneke Sompie, SE, SH, Mkn, Tertanggal 8 Mei 2019 oleh Tirtarini Lumongdong pegawai di kantor Notaris Jolanda Unsulangi, SH (Tergugat VII). Juga dirinya telah memberikan keterangan di bawah sumpah baik dalam pemeriksaan di Reskrimum Polda Sulut maupun di dalam sidang Praperadilan Nomor, 14/Pid.Pra/PN.Mdo.
Bukti ini menjelaskan mengenai bahwa dirinya sebagai saksi atas pembuatan Akta Hibah No. I Tanggal 1 Maret 1994 yang dibuat oleh Notaris Jeane Jolanda Unsulangi, SH (Tergugat VII) atas obyek sengketa, tidak pernah dihadiri, diketahui dan ditandatangani oleh seluruh pemberi hibah, baik melalui surat kuasa maupun dengan dari pihak yang bersangkutan, melainkan hanya dihadiri oleh Fien Sompotan atau orang tua/ibu dari Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III selaku penerima Hibah.
Foto copy bermeterai cukup dan telah disesuaikan dengan aslinya.

9. Bukti P – 9 : Foto copy
Surat Kuasa Tertanggal 1 Maret 1994 dari Kepala Tumpuk/Family 6 Dotu Tanjung Merah kepada Fien Sompotan dan atau orang tua/ibu Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III.
Bukti ini menjelaskan bahwa Fien Sompotan dan atau orang tua/ibu dari Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III hanya sebagai kuasa untuk bertindak atas nama Pemberi Kuasa (Ahli Waris 6 Dotu) dan bukannya sebagai Penerima Hibah.
Bukti asli ada pada tergugat I, II, III, dan atau turut tergugat.

10. Bukti P- 10
Surat Kuasa Ahli Waris 6 Dotu Tertanggal 5 Mei 2022 dari Ahli Waris 6 Dotu Tanjung Merah kepada Penggugat sebagai Kuasa Ahli Waris.
Bukti ini menjelaskan bahwa Penggugat adalah Kuasa Ahli Waris 6 Dotu Tanjung Merah terhadap tanah obyek sengketa dalam gugatan ke Pengadilan Negeri Bitung.
Foto copy bermeterai cukup dan telah disesuaikan dengan salinan aslinya.

11. Bukti P- 11 : Foto copy
Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor: 00529, Tertanggal 20 Januari 2017, Kelurahan Pateten Satu, Kecamatan Aertembaga, Kota Bitung yang merupakan obyek sengketa.
Bukti ini menjelaskan bahwa SHM Nomor: 00529, Tertanggal 20 Januari 2017, atas nama Fien Sompotan diterbitkan atas Surat Pernyataan Hibah yang diberikan oleh Ketua-ketua Tumpuk/family Ahli Waris 6 Dotu Tanjung Merah, dan Akta Hibah No. 141/HIB/BTGH/XII/1995 Tertanggal 18 Desember 1995 yang setelah diuji di Kepolisian RI Sulawesi Selatan Bidang Laboratorium Forensik Makasar Tanggal 30 Desember 2019 hibah – hibah tersebut NON IDENTIK atau tanda tangan yang berbeda.
Bukti asli ada pada tergugat I, II, III.

12. Bukti P-12
Gambar/Peta Tanah Usaha Budel 6 Dotu Tanjung Merah.
Bukti ini menjelaskan mengenai peta tanah kepemilikan dari 6 Dotu Tanjung Merah yang menjadi dasar mengenai kepemilikan tanah-tanah Budel 6 Dotu Tanjung Merah, termasuk Obyek Sengketa.
Foto copy bermeterai cukup dan telah disesuaikan dengan aslinya.

13. Bukti P – 13 : Foto copy
Surat Ketetapan Nomor: S.Tap/VII/2019/Dit.Reskrimum. Tentang PENETAPAN TERSANGKA.
Bukti asli ada pada tergugat I, II, III, dan atau turut tergugat.

14. Bukti P 14.
a. Foto – foto atau gambar yang membuktikan tentang kedudukan hukum Tergugat VII saat membuat Akta Hibah No. I Tanggal 1 Maret 1994, belum/ tidak memiliki Hak/Kewenangan PPAT.
b. Fien Sompotan atau orang tua/ibu dari Tergugat I, Tergugat II dan III, pernah ditahan di Rutan Polda Sulut sebagai Tersangka (TSK).

“PEMBANGKANGAN” Terhadap Peraturan Mahkamah Agung RI No. 3 tahun 2016.

Surat Laporan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Manado yang di tujukan kepada Yth Panitera Mahkamah Agung RI di Jakarta tembusannya sudah diterima penggugat pada hari Rabu malam tanggal 16 Agustus 2023.

Terhadap surat tersebut, perlu diberi penegasan sbb :
Bahwa Putusan Perkara No. 88/Pdt.S/2022/PN.Bit yang menurut surat Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Manado telah diputus, perlu diketahui bahwa sampai saat ini 1 September 2023 jam 11,00 penggugat belum menerima pemberitahuan secara resmi dari pengadilan. Hal itu membuat penggugat kaget.

Baik Surat Ketua Pengadilan Negeri Bitung No. W19-U5759/HK.02/02/XI/2022 tertanggal 10 November 2022 maupun Surat Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Manado No. W19.U/1944/HK.00/VIII/2023 Manado 8 Agustus 2023 materinya mirip pidato pembelaan terhadap kepentingan hukum ahli waris Alm. Fien Sompotan In casu tergugat I, II, dan III yang menyiratkan bahwa dana konsinyasi dapat dicairkan oleh ahli waris Alm. Fien Sompotan.

Maksud psychologis surat in casu adalah pembangkangan terhadap Peraturan Mahkamah Agung RI No. 3 tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan dan Penitipan Ganti Kerugian Ke Pengadilan Negeri Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, khususnya pasal 32 yang berbunyi :
”Dalam hal objek pengadaan tanah sedang menjadi objek perkara di pengadilan atau masih dipersengketakan, Ganti Kerugian diambil oleh pihak yang berhak di Kepaniteraan Pengadilan setelah terdapat putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atau akta perdamaian, disertai dengan surat pengantar dari Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah.”

Bahwa Perkara No. 88/Pdt.S/2022/PN.Bit yang menurut Surat Wakil Ketua Pengadilan Tinggi yang telah diputus padahal belum diberitahukan secara resmi kepada penggugat, yang mana penggugat akan nyatakan kasasi sehingga ketentuan pasal 32 Peraturan Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 2016 jelas dan nyata berlaku dalam perkara ini.

Sekedar untuk disimak, rasa keadilan bahwa ‘logika’ hukumnya ‘mana mungkin tanah 6 (enam) dotu hanya di kuasai Alm. Fien Sompotan In casu ahli warisnya (Tergugat I,II,III) sedangkan waris 5 (lima) dotu tidak ada hak’.
Inilah yang menjadi obyek Perkara Perdata No. 88/Pdt.G/2022/PN.Bit karena telah terjadi ”pemalsuan surat-surat”.

“Sudah sepatutnya hakim dalam menimbang dan memutus suatu perkara dengan memperhatikan asas keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan agar putusan yang dikeluarkan menjadi putusan yang ideal.
Apabila ketiga asas hukum tersebut tidak dapat diwujudkan secara bersama-sama, maka yang diprioritaskan adalah asas keadilan terlebih dahulu”.

ADA Kisah: Dua (2) sahabat lama, yang satu menjadi hakim yang satunya menjadi dosen di salah satu fakultas hukum. Mereka bertemu dan berbagi pengalaman sambil berdiskusi tentang materi dan penerapan hukum. Di akhir diskusi sang dosen bertanya kepada teman lama “kenapa saya dengan kamu berbeda pandang dalam menafsir konstruksi hukum dan penerapannya ? Teman nya menjawab sambil tersenyum ‘so itu torang pe lebe’ (“Itulah kelebihan kami”).

Sang dosen pun tidak mau kalah dari berkata “35 tahun lebih saya mengajar dan mendidik mahasiswa agar mereka mengerti dan menguasai ilmu hukum yang baik. Tapi sekarang saya ‘lelah’ dan ‘menyesal’, mengajarkan dan ingatkan mereka agar nanti dikemudian hari menjadi orang ‘bijak’ yang ‘memiliki rasa keadilan dan kepatutan’,

Sambil berkelakar sang dosen berkata pada temannya, “haii temanku, apa kepanjangan SH ? Di jawab Sarjana Hukum ‘no’, salah SH kepanjangan dari Sudah Hitam ‘hihihi’, lanjut si dosen bertanya pada temannya apa kepanjangan dari MH…? temannya berpikir sejakna kemudian menjawab ” Makin Hitam” … Hahaha itu baru benar, kemudian mereka pulang sambil bergandengan tangan pulang.

Pada dasarnya hukum mengatur hubungan antar manusia dengan masyarakat, maka ukuran hubungan tersebut adalah keadilan

Ahli sejarawan hukum Amerika, Lawrence M Friedman mengartikan hukum sebagai suatu sistem, dalam operasinya mempunyai tiga elemen yang saling berkaitan yaitu substansi, struktur dan kultur.

A. Substansi hukum
Substansi hukum adalah peraturan-peraturan yang dipakai oleh para pelaku dan penegak hukum pada waktu melakukan perbuatan hukum dan hubungan hukum. Substansi hukum tersebut terdapat atau dapat ditemukan dalam sumber hukum formil.

B. Struktur hukum
Struktur hukum adalah pola yang memperlihatkan tentang bagaimana hukum itu dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya. Fokus perhatiannya adalah pada bagaimana penegak hukum pengadilan, pembuat hukum serta proses hukum itu berjalan dan dijalankan, apakah sesuai atau justru menyimpang dari mekanisme dan prosedur yang sudah diatur oleh ketentuan formalnya.

C. Kultur hukum
Kultur hukum adalah tuntutan atau permintaan dari rakyat atau pemakai jasa hukum. Tuntutan atau permintaan tersebut lazimnya didorong oleh kepentingan, pengetahuan, pengalaman, ide, sikap, keyakinan, harapan dan pendapat atau penilaian mengenai hukum dan institusi penegaknya.
Pada dasarnya hukum mengatur hubungan antar manusia dengan masyarakat, maka ukuran hubungan tersebut adalah keadilan.

Prinsip hukum bernama Res Judicata Pro Veritate Habetur yang artinya “putusan hakim harus dianggap benar”, dimana putusan tersebut dijatuhkan, dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, Menjadi “Sekakmat” bagi si pencari keadilan. (*)

Disclaimer :
Isi tulisan adalah murni pendapat penulis dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *