TOMOHON, SULUT POST – Situasi Rumah Sakit Umum Bethesda (RSUB) Kota Tomohon Provinsi Sulawesi Utara kembali memanas. Konflik internal antara ratusan Karyawan dengan Yayasan Medika sebagai pengelola Rumah Sakit milik Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) yang terjadi pada awal tahun 2022 ini kembali pecah.
Perwakilan karyawan yang mengaku kembali mengalami berbagai tekanan dan intimidasi dari Yayasan menggelar Demonstrasi di Kantor Yayasasan Medika dan kantor Walikota Tomohon pada Kamis (18/08/2022) sore.
Berkolaborasi dengan Serikat Buruh Sejahtra Indonesia (SBSI) Sulawesi Utara, mereka melaksanakan misi mulia ini secara tertib dan santun dalam kawalan personil Kepolisian Resor (Polres) Tomohon.
Dibawah guyuran hujan lebat di halaman depan kantor Yayasan yang berlokasi di kantor Sinode, mereka hanya diterima oleh jajaran Pembina Yayasan yang adalah anggota Badan Pekerja Majelis Sinode (BPMS) GMIM.
Dengan berlinang air mata, Natalia Kaligis, juru bicara demonstran mengurai kronologis kejadian yang memaksa mereka untuk menggelar aksi damai yang menyakitkan.
“Pada bulan Maret kita sudah laksanakan mediasi yang dipimpin oleh pak wakil Gubernur Drs. Steven Kandouw yang juga dihadiri oleh walikota Tomohon serta anggota DPRD. Waktu itu disepakati dr. Olga Karinda dari pemerintah kota Tomohon menjadi Dirut dan tidak ada Wakil Dirut (Wadir),” ungkap Kaligis.
Dua bulan dibawah pimpinan Karinda, lanjut Kaligis, tidak ada masalah serius. Kekacauan kemudian terjadi, setelah mediasi pada akhir bulan Juni digelar dengan ditunjuknya dr. Daud Kiroyan, M.Kes sebagai Plt.Dirut baru.
“Saat itu Yayasan Medika sengaja menabrak kesepakatan dengan mengangkat dr. Nova Wulur dan dr. Esther Tumuyu sebagai Wadir. Tindakan ini bukan saja melukai kami tapi juga meremehkan para pelaksana mediasi seperti pak Wakil Gubernur, Wali kota dan para saksi terhormat lainnya,” ucap Natalia sembari menambahkan, jika Yayasan juga mengkhianati kesepakatan yang menegaskan tidak ada mutasi atau perpindahan jabatan.
Anehnya, beber Kaligis, Dirut Kiroyan, tanpa malu mengatakan, bahwa dalam mediasi tidak ada kesepakatan, padahal poin-poin kesepakatan kembali ditegaskan pada mediasi ke-2 pada akhir Juni dimaksud.
Sementara itu, Kabag Humas dan Hukum RSUB Franny Walangitan, SH mengkritisi para stakeholder GMIM yang tak berhenti memamerkan sikap yang bertentangan dengan ajaran mereka.
“Selama ini kami diajarkan kejujuran, keadilan dan mengasihi oleh para pimpinan kami. Faktanya kami seperti dipandang lemah. Terkini kami terus mengalami intimidasi ditengah perjuangan kerja kemanusiaan kami. Tak jarang, kami menerima perkataan tak pantas,” beber Frany.
Mengakhiri laporannya, Franny membacakan 7 sikap dan tuntutan mereka; antara lain, menolak plt. Wadir dr. Nova Wulur dan Esther Tumuyu, menolak pejabat struktural yang diangkat dengan surat tugas, dan memberhentikan dr. Windy sebagai Ketua Yayasan Medika, karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan tentang yayasan. Sayangnya, pihak Yayasan dan ketua BPMS yang menjadi tujuan justru tidak menunjukkan batang hidungnya.
“Mohon maaf pak Ketua Sinode tidak ada karena ada pelayanan diluar. Maaf juga, karena pihak Yayasan tidak ada karena sedang melaksanakan programnya di luar daerah, dan bukan karena menghindar atau takut demo,” ungkap John Rori yang mewakili Badan Pembina Yayasan.
Selebihnya yang dikemukakan oleh Rorri adalah hal-hal yang tidak menjawab persoalan karena lebih bersifat arahan dan penguatan. “Penyampaian sudah didengar. Tapi saya minta semua pihak tahu dan taat pada aturan. Tuntutan boleh tuntutan, tapi tugas pokok harus tetap diprioritaskan,” pungkasnya.
Diketahui, tindakan lainnya yang melawan kesepakatan, dan memantik kegeraman karyawan adalah dugaan aksi “pembersihan” posisi-posisi strategis yang diduduki oleh orang yang tak sejalan.
“Kabag Humas pak Franny sudah dapat surat mutasi posisi. Saya juga sudah dimutasi ke Klinik Lidya Tondano, dan yang lain mungkin menyusul,” ungkap Kepala Bagian Administrasi dan SDM RSUB, Zusane Ontorael, S.Mn. (jjw)